Wx0xo6FsZRyx4rLE66hBR56d1ftvUDQRSK2eJM5q
Bookmark
For world peace, liberate Al-Aqsa, eliminate Israel and anyone who is with Israel, they are the real terrorists.

Kangen mama

Langit sore itu mendung, seolah turut memahami hati yang sedang dirundung kesedihan. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak Mama pergi meninggalkan dunia ini, tapi rasa rindu itu tak pernah surut. Aku duduk di tepi ranjang kecilku, memandangi foto Mama yang selalu kusimpan di meja. Dalam foto itu, Mama tersenyum lembut, senyuman yang hingga kini masih melekat di ingatanku.

"Mama, aku kangen banget..." gumamku lirih, sambil mengusap pigura foto yang mulai kusam. Mataku mulai memanas, dan air mata tak tertahan lagi. Rasanya seperti ada lubang besar di hatiku yang tak pernah bisa terisi sejak kepergian Mama.

Setelah Mama tiada, aku hidup hanya bersama Ayah. Ayah berusaha sekuat tenaga menjadi segalanya untukku, tapi ada kekosongan yang tak bisa ia isi. Mama adalah orang yang selalu tahu cara membuatku merasa aman. Setiap malam, sebelum tidur, aku masih teringat bagaimana Mama membelai rambutku sambil mendongeng. Kini, semua itu tinggal kenangan.

Suatu hari, saat membereskan gudang, aku menemukan sebuah kotak tua. Di dalamnya, ada barang-barang milik Mama: syal rajutan, beberapa surat, dan buku harian kecil. Jantungku berdebar ketika membukanya. Tulisan tangan Mama memenuhi halaman-halaman buku itu, penuh dengan catatan harian tentang hari-harinya bersamaku.

"Hari ini anakku belajar mengikat tali sepatu sendiri. Dia kelihatan bangga banget! Aku bersyukur punya anak sebaik dia."

Air mataku mulai jatuh lagi. Aku membaca setiap kata dengan perasaan campur aduk—bahagia karena bisa merasakan cinta Mama melalui tulisan itu, tapi juga perih karena sadar bahwa Mama tak ada lagi di sini. Halaman berikutnya membuatku terdiam lama.

"Kalau suatu saat Mama nggak ada, tolong jangan sedih, ya. Mama akan selalu mencintai kamu, lebih dari apa pun di dunia ini."

Kata-kata itu menghantamku seperti badai. Aku menutup buku itu perlahan dan memeluknya erat-erat. Seolah dengan memeluk buku itu, aku sedang memeluk Mama untuk terakhir kali. Hari itu, aku merasa kehadiran Mama sangat nyata. Aku bahkan bisa membayangkan suaranya yang lembut berkata, "Jangan sedih, Nak. Mama selalu ada untukmu."

Malamnya, aku duduk di balkon kecil rumah kami, menatap bintang-bintang di langit. Aku percaya, di salah satu bintang itu, Mama sedang melihatku. Aku mencoba berbicara dalam hati, berharap Mama mendengar.

"Mama, aku harap Mama baik-baik di sana. Aku akan terus berusaha jadi anak yang Mama banggakan."

Ayah, yang baru pulang kerja, melihatku duduk sendirian di balkon. Ia menghampiriku, duduk di sampingku, dan bertanya dengan lembut, "Kamu belum tidur, Nak?"

Aku menoleh pelan. "Aku kangen Mama, Yah."

Ayah terdiam sejenak, kemudian menatap langit yang sama. "Ayah juga, Nak. Setiap hari."

Rasanya ada kehangatan yang perlahan mengisi hati. Kami berbicara lama malam itu, tentang Mama, tentang kenangan indah bersamanya, dan tentang betapa rindunya kami berdua. Meski kesedihan itu tak pernah benar-benar hilang, aku merasa lebih tenang karena tahu aku tidak sendirian dalam merindukan Mama.

Sejak malam itu, aku belajar untuk hidup dengan rasa rindu ini. Setiap pagi, aku selalu memandangi foto Mama dan berbisik dalam hati,

"Aku akan buat Mama bangga."
Aku percaya, meski Mama sudah pergi, cintanya akan selalu ada di dalam hatiku, menguatkan langkahku dalam setiap perjalanan hidup.


Cerita ini di hanya khayalan belaka.
0

Posting Komentar